Prof. Tasrifin, Merajut Budaya ke Bumi Loro Sae-Timor Leste


METAIDE
---Medio Juli 1988 liburan panjang tiba. Anak kecil itu berlari mengapit banyak lembaran koran. Ia menjuntai suara di Pelabuhan Murhum dan kawasan Yos Sudarso Baubau, kota kecil di jantung Pulau Buton yang sejak dulu ramai disinggahi ‘kapal putih’, istilah kapal penumpang jumbo milik PT. PELNI. 

Saat jeda dari terik, ia terus berpeluh menunggu harapan kapan koran di tangannya terbeli, lalu tersenyum kecil menghitung untung. Begitulah cerita Iping, sang anak kecil dari Melai, kampung tua dalam kawasan Benteng Keraton Buton di Kota Baubau saat ini. Ia terlahir 23 Agustus 1975 silam.

Iping tumbuh dalam kesederhanaan budaya orang Buton. Prestise hidupnya baru terasa ketika menjejak kaki di Kota Ujung Pandang (kini Kota Makassar) di tahun 1994 saat ia diterima sebagai mahasiswa Antropologi Universitas Hasanuddin (Unhas). 

Kenapa prestise? Manggasa’ – sebutan orang Buton pada Kota Ujung Pandang adalah impian berpijak orang-orang di Timur Indonesia, sebab itu satu-satunya metropolitan warga timur kala itu. Apalagi kuliah di Unhas, salah satu kampus negeri unggulan di Indonesia. “saya bangga bisa ada di Unhas dan bisa menjadi bagian dari kampus ini hingga sekarang,”ungkap Iping.

30 tahun kemudian, tepatnya tahun 2024 – Iping telah bersalin nama lengkap menjadi Prof. Dr. Tasrifin Tahara, M.Si.- nama yang menegaskan bila ia telah merengkuh gelar akademik tertinggi dan dengan jabatan seorang guru besar. Gelar yang diperolehnya di Unhas pada studi S1 dan S2, kemudian S3 di Universitas Indonesia di Jakarta. Klop, untuk seorang akademisi.

Pribadi Buton

Prof. Tasrifin memang bukan orang Buton pertama di posisi guru besar di kampus itu, sebelumnya ada Prof. Sumbangan Baja, Prof. Musran dan lainnya juga dengan prestasi dan prestise gemilang. Tetapi menjadi antropologi dan dekan bagi Iping kecil seperti jarak berbatas fatamorgana, jauh. 

Iping dan Prof Tasrifin masih tetaplah sama. Tetap pribadi asli orang Buton yang suka bertutur tentang budaya, kesejarahan hingga kekuasaan dengan dialeg Wolio yang kental. Hingga di Jakarta pun obrolan sebagai orang Buton selalu cair. Sesekali melempar kritik sebagai insider, tetapi membanggakan negeri sebagai outsider. 

Begitu bertemu sesama warga Buton, Prof. Tasrifin selalu menyapa dengan Ode – sebenarnya ini ‘pangka kamia’ dalam strata sosial orang Buton, sebab orang yang bergelar Ode di negerinya adalah sematan bagi kalangan ningrat. Tetapi, ia mencairkan istilah Ode ini sebagai akronim ‘orang dekat’. “Biar semua diaspora merasa sama, dan agar darah Buton tetap mengalir di diri Orang Buton rantauan,” katanya. 

Iping dan Prof Tasrifin masih tetaplah sama sekalipun ia berada di benua Amerika dan Eropa tatkala ia menjadi mempresentasikan pikiran-pikiran akademisnya. 

Beberapa catatan ilmiah pernah direngkuhnya di belahan dunia itu, seperti menjadi Presenter  in International Journal of Arts and Sciences, Canadian-American Conference For Academic Disiplines, McGill University, Montreal  Ryerson University Toronto Canada, 10 to 14 June 2019;  Presenter  in International Conference on Social Sciences and Humanities, Harvard University, Boston USA, 19 th – 21 st November 2018; dan Presenter  in International Journal of Arts and Sciences, Annual Academic Conference Sokol, Prague, Czech Republic, 1 to 4 November 2016. Begitupun juga pengalamnnya di beberapa negara ASEAN seperti Thailan dan Malaysia.

Sepertinya darah kebudayaan terus mengalir di tubuhnya. Di mana-mana ia berbicara budaya, kekuasaan, etnik dan konflik masyarakat maritim. Frase diksi yang kemudian membalut hidupnya sebagai professor di bidang antropolgi kekuasaan. 

Kendati telah bergelar Professor, sosok ‘Iping’ tetap membara dalam dirinya. Tetap cair dalam diskusi,dan membumi sebagai akademisi non borjuis. Ia tetap melucu dalam kritik-kritik yang tajam. Iping seperti menjejak karakter filsuf Pierre Bourdieu – sosiolog dan antropolog yang selalu berbicara tentang kapital, habitus, medan, dan kekuatan simbolik.


Atase Dikbud di Timor Leste

Media November 2024, Prof Tasrifin mendapat amanah sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) Perwakilan Republik Indonesia di Dili Timor Leste untuk periode2025-2028. April 2025 ini, ia mulai bertugas di Bumi Loro Sae itu.

“Sebenarnya saya juga tidak pernah bermimpi menjadi diplomat (Atdikbud) namun takdir yang menggiring langkah saya untuk mengikuti proses seleksi Atdikbud yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan” ujarnya ke Metaide.  

Motivasinya dari pengalaman sebagai periset di wilayah perbatasan RI dan di Sabah Malaysia hingga perbatasan Mindanau Filiphina tentang masalah yang dihadapi WNI yang menjadi sandera dari gembong teroris Abu Sayyaf. 

“ada tantangan untuk menjadi bagian dalam penyelesaian isu-isu global, rasanya menjadi diplomat juga menarik, alhamdulilah saya mendapat kepercayaan ke Timor Leste – negara tetangga kita, Indonesia dan Timor Leste masih banyak kesamaan kebudayaan dan lingkungan alam,” kata Iping.

'Loro Sae' julukan negara Timor Leste memiliki arti timur. Maka dari itu, secara harfiah julukan ini menggambarkan Timor Leste sebagai Bumi Timur. Penamaan ini mencerminkan letak geografis Timor Leste di bagian timur Pulau Timor.

Sejak zaman kolonial terutama masa penjajahan oleh Portugis, Timor Leste telah dikenal sebagai Bumi Loro Sae. Penamaan ini dipengaruhi oleh orientasi geografis Pulau Timor dan posisi Timor Leste di ujung timur pulau tersebut.

Julukan Bumi Loro Sae memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar penunjukan arah geografis. Ini mencerminkan identitas dan kedudukan Timor Leste di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Bumi Loro Sae juga memperkuat rasa identitas budaya dan sejarah bangsa Timor Leste, mengingatkan mereka bahwa akar dan sejarah yang kaya di wilayah ini. Julukan ini juga mencerminkan usaha untuk melestarikan dan mempromosikan Bahasa Tetum dan budaya lokal sebagai aset yang berharga bagi masyarakat Timor Leste.

Loro Sae juga diartikan sebagai simbol kemandirian, kekuatan, dan tekad rakyat Timor Leste untuk bangkit dan membangun masa depan yang lebih baik.

“Dulu bagian Indonesia, kecintaan saya pada kebudayaan Indonesia Timur khususnya kebudayaan suku-suku Malanesia, dan  kerja pemberdayaan masyarakat adat, menjadi  modal utama saya ke depan sebagai seorang atase pendidikan dan kebudayaan di Timor Leste,” tandasnya.

“Karena saya menyadari tugas utama seorang atdikbud  adalah mempromosikan kerjasama Pendidikan dan pengembangan kebudayaan sebagai media diplomasi  antara Indonesia dan Timor Leste,” tutupnya. (zah)

Posting Komentar

0 Komentar